|
|

ANALISA

HUKUM

AGRARIA

SEJARAH

Terkini
|

Ada Kepentingan Raksasa Tambang Dibalik Kisruh KPK vs Polri?

Minggu, 25 Januari 2015

Ditengah memanasnya konflik KPK versus Polri, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan strategis yang menguntungkan raksasa tambang hari ini. Minggu.

Kegaduhan mulai dari perang tagar (tanda pagar) #SaveKPK versus #SavePOLRI hingga adu opini di sejumlah media, benar-benar membuat publik larut dan lupa, kalau negeri kita terancam kecolongan lagi.

Dramatis. Banyak kalangan mengatakan demikian. Karena kegaduhan itu berawal dari kebijakan Presiden yang mengajukan calon tunggal Kapolri. Yang sehari kemudian, calon tersebut langsung ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Kemudian Polri balik menangkap pimpinan KPK. Berbalas pantun lah dua institusi negara ini. Banyak pihak awalnya sudah menduga ada yang janggal dari peristiwa itu.

Salah satu hal janggal yang mulai bermunculan adalah pemerintah mengambil kebijakan strategis, yaitu soal kedaulatan sumber daya alam yang menguntungkan perusahaan eksplorasi, ditengah kian alotnya perseteruan KPK vs Polri.

Untuk diketahui, di saat konflik ini dimulai, ada sejumlah perusahaan tambang yang mulai ketar-ketir menghadapi habisnya batas waktu ekspor hasil tambang mentah. Bulan Januari, tahun ini.

PT Freeport Indonesia saat itu dikabarkan kian gencar melakukan lobi-lobi, untuk melonggarkan kembali batas waktu yang diberikan pemerintah.

Perihal tersebut, sempat diberitakan oleh sejumlah media, namun tidak cukup signifikan mencuri perhatian publik. Karena publik sudah terlanjur dibikin larut dalam masalah KPK vs Polri. Apalagi kisahnya kian hari kian seru saja.

Menteri ESDM, Sudirman Said kemarin kepada sejumlah media mengatakan; Pemerintah punya hak untuk memperpanjang atau tidak memperpanjang izin tersebut. Sementara Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian ESDM, R Suhyar bilang perpanjangan izin tersebut untuk membangun Papua.

Padahal seperti diketahui, perpanjangan izin tersebut jelas-jelas menguntungkan Freeport, karena niat untuk kembali mengekspor hasil tambang mentah, tanpa perlu selesainya pembangunan smelter, kembali terwujud. 

Sementara rakyat Papua, harus lebih banyak lagi bersabar karena kekayaan alamnya terus dikeruk, sementara janji untuk membangun industri hilir di bumi Cenderawasih itu, kembali janji tinggal janji.

Di sisi lain, perpanjangan izin ekspor bagi Freeport memang sudah sangat mendesak. Sebab, izin yang dikantongi raksasa tambang itu akan berakhir hari ini. Jika tidak diperpanjang, maka perusahaan asal Amerika Serikat tersebut terancam tak bisa ekspor, sebab belum memiliki smelter, aturan wajib yang dipersyaratkan Pemerintah era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

SBY meneken UU No 4 Tahun  2009 tentang Minerba yang mewajibkan semua perusahaan tambang membangun smelter tanggal 12 Januari 2009 lalu. Tertanggal 12 Januari 2014, tepat lima tahun UU Minerba ini terus-terusan dikangkangi.

UU tersebut seakan kehilangan marwahnya. Tahun berganti tahun, pemerintah tetap saja memberi toleransi.

Masih segar di ingatan kita, tahun lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Kementerian ESDM telah bersepakat melaksanakan Undang-Undang tersebut secara konsisten dan utuh. Bahwa setiap perusahaan tambang wajib membangun fasilitas pengolahan.

Jika tidak, para petinggi negara Indonesia itu dengan tegas menyatakan bakal menghentikan kontrak karya. Tanpa toleransi!

Yang ngotot untuk tidak lagi bernegosiasi dengan perusahaan tambang terkait smelter waktu itu termasuk politisi PDI-P, partai berkuasa saat ini. Selain dari Partai Moncong Putih, Anggota DPR-RI lain yang tergabung dalam komisi VII saat diketuai Sutan Bhatoegana juga satu suara sepakat; bahwa UU tentang Minerba itu efektif berlaku tanggal 12 Januari. Tahun ini. 

Tapi apa dikata, lobi perusahaan yang beroperasi di tanah Papua itu cukup kuat. Entah apa yang disampaikan kepada pemerintah, sehingga Freeport kembali mendapat perpanjangan waktu sampai enam bulan ke depan.

Publik nyaris tak bergeming soal ini. Di Kompas.com misalkan, tidak ada satupun pembaca yang tertarik men-share berita tersebut dari empat sosial media yang tersedia di bawah artikel. Yang ada hanyalah tujuh komentar, yang berisikan penolakan, dan kekecewaan mendalam pembaca atas kebijakan pemerintah. 

Sama halnya di Detik.com. Begitupula di JPNN, berita di tiga media online besar itu tak mendapat sambutan antusias pembaca sama sekali. Tak se-seksi berita KPK vs Polri.

Biar tak ada prasangka buruk, Pemerintah harus menerangkan secara masuk akal alasannya menyetujui perpanjangan MoU ekspor tambang itu. Dan kenapa timing kebijakannya diambil tepat ketika kisruh Polri vs KPK masih berlangsung.

Pencalonan Kapolri juga dinilai banyak kalangan terlalu terburu-buru. Tanpa alasan yang jelas. Padahal Jenderal Sutarman masih punya waktu panjang untuk menjabat, sebelum masa pensiun tiba, sekitar sembilan bulan lagi. Walhasil, Sutarman akhirnya kini jadi Jendral aktif satu-satunya yang tanpa jabatan.

Sehingga mengundang pertanyaan kita, sebenarnya seberapa serius perseteruan lembaga anti korupsi dengan Polri?

Apakah konflik yang disuguhkan itu sungguhan atau drama? Ataukah rekayasa politik yang sengaja dibuat untuk menjebak sejumlah kalangan demi kepentingan pengalihan isu? Jika iya, apakah isu yang dimaksud lebih mahal dan lebih strategis dari tagar #savePolri atau #saveKPK? Atau ini semua hanyalah fenomena kebetulan, tanpa settingan?

Semoga ada pelajaran yang bisa kita petik dari serangkaian peristiwa ini.

Wallahu a'lam bishawab.

Salam Redaksi.

share

Menarik