|
|

ANALISA

HUKUM

AGRARIA

SEJARAH

Terkini
|

Ketua MK: Kita Tidak Punya Lembaga Paksa

Kamis, 22 Januari 2015

kompasiana.com
Terpilih secara aklamasi, ketua Mahkamah Konstitusi baru, Arief Hidayat naik kelas. Dari jabatan wakil ketua, menjadi ketua menggantikan Hamdan Zoelva. Tidak ada Hakim MK lain yang mau bersaing merebut kursi tersebut.

Banyak PR yang dia dan delapan hakim lain akan hadapi. Termasuk bagaimana menyikapi sejumlah kebijakan strategis lembaga tinggi negara yang paradoks dengan putusan konstitusi.  Padahal, putusan mahkamah yang satu ini bersifat final dan mengikat.

Simak lebih lengkap pandangan Arif  Hidayat ketika ditemui kemarin di ruang kerjanya, lantai 15 Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat berikut ini;

Kenapa anda bersedia dipilih menjadi ketua MK, sementara delapan hakim yang lain menolak?
Jadi begini, beliau-beliau sepakat meminta saya untuk menjadi ketua. Ya mungkin didasarkan pada kepentingan institusi. Jadi bukan apa-apa.

Anehnya kenapa calon wakil ketua banyak, sementara calon ketua cuma anda?
Iya untuk menjadi wakil, kebetulan banyak yang mengusulkan. Tapi untuk menjadi ketua, beliau-beliau mungkin merasa karena saya sudah pernah menjadi wakil maka memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi ketua.

Cuma itu alasannya?
Ada pandangan dari teman-teman hakim supaya ada kesinambungan atas apa yang sudah kita lakukan pada masa kepemimpinannya pak Hamdan, dan wakilnya saya untuk bisa segera kembali rebound atas apa yang pernah terjadi di Mahkamah Konstitusi.

Apa yang akan anda lakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada institusi MK?
Saya kira apa yang sudah kita lakukan bersembilan selama ini sudah baik, sudah bagus. Hal itu ditunjukkan dengan bahwa kita itu memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa Pileg dan Pilpres kan nggak ada masalah kan. Artinya itu menunjukkan bahwa marwah kita, citra kita sudah bisa diterima oleh publik. Selain keputusan-keputusan yang lain.

Kalau boleh tahu, setelah Hamdan Zoelva menyelesaikan tugasnya sebagai ketua MK, apa ada pesan khusus dari beliau?
Kalau pesan-pesan secara khusus nggak ada. Karena kan kita nggak bekerja sendiri. Ketua itu kan bukan singgle fighter, tapi kita itu bekerja bersembilan, bekerja secara kolektif. Tidak ada keputusan yang diambil hanya oleh satu orang.

Hakim MK sempat mengajukan surat keberatan terkait komposisi Tim Pansel MK waktu itu, namun tidak dihiraukan oleh presiden. Bagaimana pendapat anda?
Kalau saya melihatnya begini, sebetulnya kita nggak keberatan kok, kita hanya meminta klarifikasi waktu itu. Dan klarifikasinya waktu itu kan hanya tertutup, loh proses seleksi kok ada panitia seleksinya yang sering berperkara disini. Itu aja sebenarnya. Nggak begitu mempermasalahkan betul.

Ada jawaban dari Jokowi waktu itu?
Ya akhirnya memang tidak terjawab. Tapi kan kita juga hanya meminta klarifikasi, tapi kalaupun nggak ada ternyata hasilnya berjalan dengan baik. Dan yang dihasilkan Pak Palguna, juga merupakan hakim yang luar biasa kan. Mantan hakim di angkatan pertama, juga hakim yang luar biasa juga. Dan ternyata pak Palguna tidak ada resistensi dari masyarakat, ya kan. Dan itu menunjukkan bahwa apa yang kita klarifikasi sudah terjawab dengan terpilihnya pak Palguna.

Pembicaraan apa saja yang sudah dilakukan dengan dua hakim baru ini?
Kita kan ada tradisi-tradisi yang tidak tertulis disini, ya kita komunikasikan ke beliau-beliau. Tapi itu bukan untuk mempengaruhi kemandirian hakim.

Contoh tradisi-tradisi yang tidak tertulis itu seperti apa?
Misalnya hakim yang menggantikan selalu duduk di kursi hakim yang digantikan. Ya tradisi-tradisi itu. Karena ada tempat duduk yang sudah seperti itu. Toh marwah tempat duduk saja kita jaga apalagi marwah mahkamah.

Selain soal tempat duduk, ada lagi yang disampaikan?
Ya anu, bagaimana kita berdiskusi, memutus perkara, saya kira itu hal yang biasa. Saya kira teman-teman juga sudah tahu persis. Bahwa kita tidak saling mempengaruhi, kita punya independensi, kita masing-masing punya kebebasan mengemukakan pendapat. Bukan berarti ketua bisa mendikte, nggak ada.

Dibawah kepemimpinan anda, bisa tidak memastikan MK bebas dari suap dan korupsi?
Kalau saya, bisa memastikan hanya diri saya sendiri. Saya tidak bisa memastikan yang lain. Tapi melihat keseharian hakim yang ada sekarang, saya punya pengharapan yang sama seperti yang anda tanyakan juga.

Oya, menyoal PK hukuman mati. MK sudah memutuskan bahwa PK boleh diajukan lebih dari satu kali. Tapi Surat Edaran MA (SEMA) kemudian membatasi PK hanya satu kali. Apakah kebijakan dua lembaga tinggi ini tidak paradoks?
Saya tidak boleh menjawab itu karena itu sudah putusan. Saya oleh kode etik melarang mengomentari keputusan yang sudah diambil oleh kita sendiri. Kalau saya menjawab itu, saya bisa dipanggil oleh dewan etik. Saya bisa diberi peringatan, mulai dari lisan, tertulis sampai kena sanksi.

Jadi SEMA tidak melanggar konstitusi?
Saya tidak boleh mengomentari itu...

Tapi membolehkan masyarakat mengajukan kembali gugatan itu?
Oh kalau itu, terserah...permohonan apapun silahkan. Dan kita akan menjawabnya lewat putusan.

Nah bagaimana memastikan kekuatan hukum yang dihasilkan MK. Ketika diputuskan tetapi tidak dilaksanakan bagaimana?
Itu putusan Mahkamah Konstitusi sangat bergantung pada kesadaran dari lembaga negara atau masyarakat yang terkena dari keputusan itu. Anda akan patuh atau tidak patuh kepada putusan MK.

Artinya boleh patuh dan tidak patuh?
Bukan begitu. Kalau tidak patuh toh silahkan mereka. Jadi kepatuhan pada keputusan Mahkamah Konstitusi bergantung pada kesadaran mereka. Kita tidak bisa memaksakan.

Maksud anda?
Artinya kita tidak punya lembaga paksa. Apa kita punya lembaga paksa? Kan nggak ada.

Ini bisa dikatakan menjatuhkan marwah konstitusi tidak?
Menurut saya, marwah Mahkamah Konstitusi itu terletak pada putusannya. Bukan pada orang itu taat atau tidak taat. Keputusan kita itu memenuhi rasa keadilan apa ndak. Keputusan kita itu memberi kepastian apa ndak. Keputusan kita itu bermanfaat untuk kepentingan nasional apa ndak. Atau putusan kita itu betul-betul menafsirkan konstitusi selurus-lurusnya, seadil-adilnya atau tidak. Itu namanya menjaga marwah kita. Itu masalah implementasi bukan wewenang kita lagi, itu kesadaran masyarakat, kesadaran lembaga-lembaga negara yang terkait dengan keputusan itu.

Soal kebijakan pemerintah menghapus subsidi BBM premium. Sejumlah pakar mengatakan kebijakan itu melanggar konstitusi, pendapat anda?
Nah itu mahkamah konstitusi sudah memutus mengenai itu. Saya juga tidak bisa berkomentar atas apa yang sudah kita putus.

Tidak bisa berkomentar?
Tidak bisa berkomentar. Kalau saya berkomentar nanti saya melanggar kode etik Mahkamah Konstitusi.

share

Menarik